Minggu, 10 Januari 2010

Tradisi Tahlilan utk Mayit

Bismillahirrahmanirrahim,

Didalam kaidah ushul fiqh ada berbunyi: “Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Dari mana asalnya tahlilan mayyit?


Ritual tahlilan sebenarnya merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain (Hindu & Budha) dalam upacara kematian, dalam rangka syi'ar agama di Indonesia di awal-awal masa perkembangan agama Islam. Dengan merubahnya dengan do’a dan zikir yang diambil dari ayat-ayat Al qur'an. Tapi dalam perkembangannya justru menjadi semacam Ibadah yang "wajib" dilakukan oleh orang yang sedang mendapat musibah kematian...sampai saat ini.

Jadi apakah tahlilan untuk mayyit salah satu sunnah Rasul?

Apakah Rasulullah pernah mentahlilkan Khadijah istri tercinta beliau, atau Hamzah paman tercinta beliau yang gugur dalam perang Uhud? Jawabannya pasti…TIDAK

Acara ritual tahlilan mayyit ternyata tidak pernah dikenal di masa Rasulullah SAW, tidak juga di masa para sahabatnya dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan ritual tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka
Jadi kenapa harus ikut-ikutan mengada-ada dalam beribadah, seperti melakukan tahlilan mayyit jika tahu bahwa ritual itu tidak pernah di contohkan Rasulullah?

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah saw itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al Ahzab: 21) Islam telah sempurna, tidak ada lagi ibadah kecuali semua telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Jadi pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan tidak memiliki argumentasi melainkan satu argumen saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. Walaupun ritual tersebut jelas-jelas tidak pernah sama sekali di contohkan apalagi dianjurkan Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin

. “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104) Mengenai hadiah bacaan ayat Al qur'an buat mayyit. Apakah Rasulullah pernah memerintahkan umatnya untuk mengirim bacaan Al qur’an? Kalaulah memang berguna hadiah tersebut pasti banyak hadis shahih yang akan mengabarkannya, kenyataannya tidak. Al qur’an diturunkan bukan untuk menyelamatkan orang mati. Kita yang masih hiduplah yang butuh bacaan Al qur’an sebagai tuntunan.

“Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (Yasin: 69-70)

Sebab orang yang telah meninggal telah terputus hubungannya dengan dunia. Apa yang dia bawa menghadap Allah hanyalah sekedar apa yang dia pernah perbuat di dunia.

“Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperoleh ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 38-39)

"Bila seorang hamba telah meninggal, segala amalnya terputus, kecuali tiga hal : amal jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo'akannya" (HR. Bukhari)

Jadi lebih berguna jika anak-anaknya saja yang menghadiahi orang tua yang telah meninggal dengan do’a-do’a, melunasi hutangnya jika ada atau melakukan perbuatan yang sudah jelas dianjurkan dalam Al qur'an dan hadis

“Barangsiapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim).


“ Maka sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang masih hidup tentu akan melihat perselisihan yang banyak, maka peganglah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin mahdiyin, peganglah dengannya serta gigitlah dengan gigi-gigi gerahammu. Dan tinggalkanlah oleh kalian perkara-perkara yang baru dalam agama ini karena sesungguhnya setiap yang baru dalam agama ini bid’ah dan setiap bid’ah sesat “ (dikeluarkan oleh Abu Dawud 4607 dan Tirmidzi 2676)
“Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami yang hal tersebut bukan dari agama ini maka perkara itu ditolak”. (Bukhari rahimahullah dalam shahihnya, pada kitab Ash Shulh, bab Idzaashthalahuu `ala shulhi jawrin fash shulhu marduud no. 2697)
“Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak” (Shahih Muslim, bab Naqdlul ahkam al bathilah wa raddu muhdatsaati umuur, no. 1718 )
Pendapat para ulama tentang hadist Bukhari dan Muslim diatas:
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan kaidah yang agung dari kaidah-kaidah Islam”. Beliau menambahkan lagi: “Hadits ini termasuk hadits yang sepatutnya dihafalkan dan digunakan dalam membatilkan seluruh kemungkaran dan seharusnya hadits ini disebarluaskan untuk diambil sebagai dalil”. ( Syarah Shahih Muslim)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : “Hadits ini merupakan pokok yang agung dari pokok-pokok Islam. Dia seperti timbangan bagi amalan-amalan dalam dzahirnya sebagaimana hadits: (amal itu tergantung pada niatnya) merupakan timbangan bagi amalan-amalan dalam batinnya. Maka setiap amalan yang tidak diniatkan untuk mendapatkan wajah Allah tidaklah bagi pelakunya mendapatkan pahala atas amalannya itu, demikian pula setiap amalan yang tidak ada padanya perintah dari Allah dan rasulnya maka amalan itu tidak diterima dari pelakunya. (Jami`ul Ulum wal Hikam, 1/176)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah setelah membawakan hadits ini dalam syarahnya terhadap kitab Shahih Bukhari, beliau berkomentar : “Hadits ini terhitung sebagai pokok dari pokok-pokok Islam dan satu kaidah dari kaidah-kaidah agama”. (Fathul Bari) Jadi hal baru yang mendapat janji multilevel pahala itu bukan mengada-ada dalam urusan ibadah, tapi lebih kepada bid'ah muamalah yang tidak dicontohkan Rasulullah di zamannya. 'Engkau lebih mengetahui urusan duniamu.' (“Antum a’lamu bi-syu`uni dun-yaakum”) (HR. Muslim) (Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, hal. 78 )
Bukankah sudah jelas contoh Rasulullah dalam menghadapi orang yang terkena musibah kematian?
Apakah pernah Rasulullah mengajarkan para sahabatnya untuk duduk berkumpul membaca Dzikir dengan urutan-urutan tertentu dalam membaca nya serta menghadiahkan bacaan surat Yasin yang dibaca berjama'ah?
atau mungkin jangan-jangan kita termasuk orang yang disindir oleh Allah dalam QS. Al Maaidah : 104
” Dan apabila dikatakan kepada mereka, ” Marilah mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan (mengikuti) Rasul. ” Mereka menjawab, ”Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya). ” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak pula mendapat petunjuk.” “Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari agama ini apa yang Allah tidak mengizinkannya”. (QS. Asy Syuura : 21)
Berdzikir itu dianjurkan, namun menciptakan kaifiyat (tatacara) dan penentuan waktu serta jumlah dan urutan berzikir itu harus ada hujjah dan dalilnya dari Rasulullah dan khulafaur rasyidin.
Memang kita tidak akan dihukum oleh Allah karena berzikir, tapi kita akan dihukum sebab mengada-adakan sebuah ibadah tanpa di contohkan oleh Rasulullah.
Copas dr Sdr. Hersu /wisatahati.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar